Ferimina Laia

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Tantangan Menulis (19) Sungai Maut

SUNGAI MAUT

Oleh : Ferimina Laia

Hari minggu merupakan hari yang paling menyenangkan bagiku. Banyak alasan di balik kesenanganku itu. Pertama, saya tidak perlu buru-buru bangun karena saya tidak ke sekolah. Kedua, saya tidak ke kebun untuk membantu ibu mengambil makanan ternak pada sore hari. Ketiga, ibuku memberiku kelonggaran untuk santai.

Hari ini, bertepatan dengan hari yang menyenangkan itu. Cuaca sangat cerah, sehingga sukacitaku semakin sempurna. Rencana yang kusepakati bersama dengan teman-teman akrabku akan terwujud.

Ya, saya, Tini, Rani, dan Liza telah sepakat untuk berenang ke sungai Tara’ua siang ini. Kemarin ketika pulang sekolah, kami saling berjanji bahwa kalau cuaca cerah maka acara renang wajib dilaksanakan.

Sebenarnya, momen ini sudah lama kami rencanakan, tapi ada saja kendala yang membuat agenda kami itu gagal. Setiap kali kami gagal, kami selalu menghibur diri dengan mengatakan bahwa, “Semua indah pada waktunya.”

***

Sesuai dengan janji, kami akan berkumpul di rumahku pada pukul tiga belas WIB. Janji tersebut benar-benar ditepati oleh ketiga temanku. Waktu baru menunjukkan pukul dua belas lewat lima puluh menit, mereka sudah tiba di rumahku. Senyuman sama-sama menghiasi bibir kami.

“Ma, saya berangkat ya. Teman-temanku sudah datang,” saya pamit pada ibu.

“Jangan terlalu lama di sana ya. Hati-hati!” Ibu menyahut dari kamar.

“Kita langsung berangkat ya. Saya sudah pamit pada ibu”.

“Oke,” sahut mereka kompak.

Canda tawa menghiasi perjalanan kami. Tini selalu saja menemukan ide cerita yang memancing kami untuk tertawa. Dia memang humoris. Kami tidak pernah sepi kalau dia ada di antara kami.

Tanpa terasa, kami sampai ke sungai Tara’ua. Sungai yang dikelilingi oleh gunung tinggi dan pohon besar itu benar-benar mengundang kagum di hati kami. Airnya jernih sekali. Kedalamannya juga berbeda-beda.

“Yuk, kita berenang sekarang,” Liza, temanku yang sudah beberapa kali berenang ke sungai itu mengajak kami, “kita berenang di sekitar ini saja ya. Di sana agak dalam dan ada putaran airnya,” lanjut Liza.

Tanpa menanggapi kalimat Liza, kami segera menceburkan diri ke sugai yang sangat sejuk itu. Kemampuan renang kami yang tak seberapa tak membatasi kami untuk bersenang-senang di dalam sungai itu.

“Hei! Dimana Tini?” kami dikagetkan oleh Liza. Spontan kami mengedarkan pandangan ke area sungai itu.

“Kok, nggak ada?” ujar Rani cemas. Liza segera naik ke bibir sungai. Ia melihat di sekitar putaran air yang arusnya lumayan deras.

“Ayo naik semua! Tini di sana!” Liza berteriak kepada kami. Wajahnya pucat. Dalam hitungan detik, saya, Peri, Susi, dan Rani sudah bergabung dengan Liza. Kami mengikuti arah pandangan Liza yang sedang menyaksikan Tina.

Tubuh Tina berputar terus di tengah putaran air itu. Mata kami melotot semua. Kepala Tini mengarah ke bawah, yang menandakan dia sedang mengalami masalah besar. Tapi kami tidak bisa berbuat banyak. Tidak ada di antara kami yang betul-betul mahir berenang. Rasa takut menyelimuti hati kami.

“Isah, Susi, kalian panggil dulu bapak-bapak yang ada di kedai tadi. Cepat ya!,” ujar Liza pada kami. Saya dan Susi berlari ke arah kedai yang jaraknya sekitar tiga ratus meter.

“Pak! Pak! tolong teman kami! Dia tenggelam di sungai Tara’ua!” saya langsung berteriak kepada bapak-bapak yang kebetulan sedang main kartu di warung Pak Tori.

“Apa?” sahut bapak-bapak yang sedang asyik main kartu itu, terkejut. Mereka langsung berlari ke arah sungai Tara’ua.

“Pak, dia di sana!” Liza menunjuk tempat Tini tenggelam kepada beberapa bapak yang sudah sampai di lokasi kejadian.

Tanpa banyak bicara, empat orang dari bapak-bapak itu langsung melompat ke arah sungai yang ditunjuk oleh Liza.

Semua yang hadir di tempat itu merasa cemas. Sekitar sepuluh menit kemudian, Pak Tias muncul kepermukaan sungai sambil mengangkat tubuh Tina yang sudah pingsan. Pak Titus membantu Pak Tias membawa Tina ke bibir sungai. Bapak-bapak yang berada di pinggir sungai langsung menerima tubuh Tina dari tangan Pak Titus dan Pak Tias. Mereka meletakkannya Tina ke permukaan tanah.

Tangisan histeris tiba-tiba terdengar di tengah kerumunan orang. Ibu, tante, kakak dan adik Tini ternyata sudah tiba di lokasi kejadian.

“Apa yang terjadi Tina!” Bu Popi, ibu Tina berteriak setelah tiba di samping anaknya.

Sementara, beberapa orang yang ada di tempat itu, memberi pertolongan kepada Tina. Tubuh Tina diangkat dengan posisi kaki di atas dan kepala di bawah. Ada yang menepuk punggung dan ada juga yang menekan perut Tina.

Aneh, air sama sekali tidak keluar dari mulut Tina. Padahal, perutnya gembung karena kemasukkan air. Usaha lain dilakukan. Kakak Tina memberi nafas buatan kepada adiknya. Tapi keadaan tetap saja tidak berubah. Tina masih belum siuman.

Tangisan keluarga Tina semakin menjadi. Bahkan Bu Popi memukul-mukul badannya yang tidak bersalah. Ia menyesal karena memberi izin pada Tina untuk berenang hari ini. Padahal ia selalu melarangnya.

Menyaksikan kesedihan keluarga Tina, banyak di antara kami yang meneteskan air mata. Termasuk Reni, Rini dan Liza. Tapi tidak sedikit juga yang menyesali kejadian itu.

Tangisan bertambah histeris setelah Tini berada di pangkuan ibunya. Semua yang hadir tak mampu menahan rasa sedih melihat kondisi Tini yang sangat menyedihkan. Perutnya sangat besar karena kebanyakan minum air.

“Pak, tolong periksa dulu anak ini,” Bu Popi berbicara kepada Pak Rio, dukun yang dipercaya di kampung kami di sela-sela tangisnya. Pak Rio memeriksa beberapa bagian tubuh Tini dan menekan-nekan perut teman kami itu.

Pak Rio menghela nafas panjang. Ia seolah menyampaikan sesuatu yang sangat fatal. Tak lama kemudian ia berujar, “Sudahlah. Bawa anak ini ke rumah. Kasihan kalau terlalu lama di sini. Dia telah meninggalkan kita semua. Tabahkan hati kalian.”

Mendengar kata Pak Rio, tangisan terdengar semakin histeris.

“Apa maksudmu, Pak! Tina masih hidup. Dia tidak mungkin meninggal,” teriak Bu Popi di sela tangisnya. Ibu-ibu yang ada di tempat itu mengambil jenazah Tini di pangkuan ibunya dan membawanya ke rumah duka. Sementara yang lain memapah Bu Popi yang tubuhnya sangat lemas. Mereka berusaha menghibur wanita malang itu.

***

“Saya berharap, warga desa waspada di sungai itu,” ujar Pak Rio dengan nada rendah, “kejadian ini bukan yang pertama. Sepuluh tahun yang lalu, ada juga peristiwa yang persis sama di tempat anak ini ditemukan. Kalau tidak salah, insiden itu bulannya sama dengan bulan ini,” lanjutnya menghempas nafas.

Saya merasa ngeri mendengar penjelasan Pak Rio. Bulu romaku spontan meremang. Saya spontan merapatkan diri kepada ibuku yang juga sedang melayat. Saya memeluknya erat.

“Sudah dengar itu, kan? Jangan pernah lagi ke sana!” Ibu memperingatiku. Aku menganggukkan kepala. Di dalam hati, aku berjanji bahwa tidak akan datang lagi ke Sungai Tara’ua.

Tina, maafkan kami. Tenanglah di alam sana. Aku membatin sambil memerhatikan tubuhnya yang telah kaku. Air mata mengalir lagi di pipiku. Kenangan-kenangan bersama Tina seolah menari-nari di otakku. Aku semakin terisak karena terlalu banyak kenangan manis yang kami lewati bersama.

Tuhan, terimalah temanku di sisi-Mu. Dia gadis yang baik dan lucu. Amin.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post